Kemampuan ingatan yang dianugerahkan oleh-Nya, lebih dari cukup untuk
mengingat dan mengenang setiap goresan cerita dalam lembaran kehidupan. Alat
indra yang di anugerahkan-Nya pun tak ada yang dapat menandinginya. Namun,
terkadang dengan berjalannya waktu ingatan itu lambat laun menghilang dan
menyisakan kenangan yang paling terkenang, sedangkan hal kecil lainnya hilang
bersama waktu. Teringat sebuah kutipan dalam sebuah buku biografi “yang terucap
akan lenyap, yang tercatat akan teringat”. Semoga kenangan yang diciptakan
kemarin, dengan adanya tulisan ini dapat selalu teringat akan setiap hal yang
mengiringinya. Tidak begitu saja menguap. Untuk ilmu, untuk senyuman, untuk
cerita, dan untuk kenangan yang semoga akan selalu teringat di hari esok nanti.
Bermula dari usulan seorang teman yang memberitahukan suatu tempat, Taman
Nasional di pulau Jawa. Pulau yang terkenal dengan penduduknya yang sangat
padat, menyebabkan banyak pusat kegiatan manusia. tidak hanya itu, pulau Jawa
ini juga memiliki banyak gunung api yang menyebabkan tanah di pulau Jawa ini
sangat subur, dan selanjutnya berdampak akan terbentuknya berbagai bentang alam
yang dapat memanjakan dan memuaskan setiap orang yang mengunjunginya. Kami yang
tinggal di Kota Bandung, yang sejatinya sebuah kota yang diciptakan Tuhan
ketika Dia tersenyum, berada di bagian barat pulau Jawa dengan segala hal yang
sangat luar biasa, baik itu bentang alam, kuliner, hingga iklim yang begitu
memanjakan dan membuat betah setiap orang yang tinggal maupun berkunjung ke
kota ini. Haaah kita tinggalkan dulu cerita Bandung yang begitu menyenangkan.
Kembali pada cerita awal, sebuah tempat yang menjadi usulan untuk dikaji
pada KKL Tahap 2 ini dapat dikatakan tidak mempunyai begitu banyak perbedaan jika
dilihat dari unsur-unsur fisiknya dengan berbagai daerah di pulau Jawa. Mungkin
begitulah persepsi awal dari sebagian kami. Namun di sisi lain, entah mengapa
tempat tersebut terasa sangat istimewa. Berada di ujung timur pulau Jawa,
sepertinya salah satu hal yang membuat kami merasakan keistimewaan tersebut.
Dengan banyak perdebatan yang mengiringinya, Taman Nasional Alas Purwo,
Banyuwangi, Jawa Timur akhirnya menjadi sebuah keputusan untuk dapat
mengeksplorasinya pada Kuliah Kerja Lapangan Tahap 2 ini.
Hal pertama ketika mencari informasi mengenai Taman Nasional Alas Purwo
adalah misteri dan mitos yang sangat begitu kental, sehingga hal demikian menimbulkan
sedikit banyaknya keraguan. Namun, pada akhirnya rasa penasaran akan ilmu dan
keindahan alam yang ada di dalamnya mengalahkan perasaan takut yang hadir. Di
sisi lain, Taman Nasional Alas Purwo ini memiliki banyak objek kajian yang
sejalan dengan tujuan dalam KKL Tahap 2 ini, dimana pada KKL Tahap 2 ini diwajibkan
untuk dapat mengkomparasi berbagai fenomena geosfer. Dan pada kesempatan ini,
kami memilih untuk mengkomparasi jenis ekosistem. Dan di Taman Nasional Alas
Purwo ini, setidaknya ada 4 jenis ekosistem diantaranya ekosistem pantai,
ekosistem sabana, ekosistem Hutan hujan tropis, dan ekosistem hutan mangrove. Dengan
menggunakan bis, jarak sekitar 971 Km dari Bandung ke Taman Nasionanl Alas
Purwo, Banyuwangi Selatan memakan waktu lebih dari 30 jam perjalanan dengan
menyusuri jalur pantai selatan.
objek yang dikaji sangatlah beragam. Namun diantara banyak objek tersebut,
salah satu hal yang menarik di Taman Nasional Alas Purwo ini adalah penangkaran
penyu di pantai Ngagelan. Berjarak sekitar 7 km dari lokasi penginapan, pantai
Ngagelan yang dijadikan sebagai tempat penangkaran penyu ini ditempuh dengan
menggunakan mobil jeep, kendaraan lokal setempat dengan waktu kurang lebih 30
menit. Kondisi jalan yang ditempuh merupakan jalanan tanah yang sudah terbiasa
dilewati untuk kendaraan. Sisi kanan kiri dari jalan tersebut ditumbuhi dengan
hutan heterogen yang sangat rapat dan masih sangat alami, sehingga selama
perjalanan tidak jarang dapat ditemukan berbagai jenis fauna yang ada di hutan
tersebut.
Bermula pada tahun 1986, kesadaran akan pentingnya regenerasi dan
kelestarian terhadap penyu mulai timbul, yang pada akhirnya dibuatlah sebuah
penangkaran penyu di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. penangkaran penyu di
pantai Ngagelan ini bersifat semi alami. Terdapat 4 jenis penyu dari total 6
jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Lekang / Abu-abu (Lepidochelys Olivaceae), Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata), Penyu
Belimbing (Dermochelys Coreacea), dan
Penyu Hijau (Chelonia Mydas).
Ketika tiba musim penyu bertelur, yaitu pada bulan Maret – April dan berpuncak
pada bulan Juni – Juli, petugas yang berjumlah 6 orang ( 4 PNS dan 2 pekerja dari
masyarakat) menyusuri pantai sepanjang 18 km setiap malam untuk mencari
telur-telur penyu, termasuk di dalamnya Pantai Pancur, Pantai Triangulasi,
Pantai Parang Ireng dan tentu saja Pantai Ngagelan sebagai pusat dari
penangkaran penyu. Para petugas mengamankan dan melindungi keberlangsungan
hidup penyu dari biawak sebagai predotor utama dan hewan lainnya. Selain dari
predator hewan, tidak sedikit masyarakat sekitar yang masih kurang peduli
terhadap kelestarian penyu, mengambil telur-telur penyu untuk diperjualbelikan
sebagai tambahan untuk kebutuhan ekonomi mereka.
Dengan bantuan senter dan tongkat, para petugas berjalan menyusuri pantai
mencari jejak-jejak penyu dan gundukan pasir. Penyu-penyu tersebut bertelur di
pasir yang tidak terkena oleh gelombang air laut. Suatu hal yang unik dari
induk tukik adalah dengan membuat penyamaran pada lubang tempat telur penyu
berada. Gundukan-gundukan pasir yang disangka sebagai tempat telur penyu
ternyata hanyalah sebagai tipuan semata, tempat sebenarnya dari telur penyu berada
tidak jauh dari gundukan pasir. Hal tersebut mungkin dijadikan sebagai
perlindungan seorang induk untuk menjaga keturunannya dari predator. Tongkat
yang dibawa oleh para petugas kemudian dijadikan sebagai alat penusuk pasir, biasanya
pasir yang ada telur penyu lebih empuk jika dibandingkan dengan pasir yang
tidak ada telur penyu, namun dengan resiko 3 – 4 telur pecah akibat dari tongkat
yang ditancapkan tersebut. Pada kedalaman sekitar 60 cm, telur-telur dari Penyu
Sisik, Hijau, dan Abu-abu sudah dapat ditemukan. Sedangkan untuk telur Penyu
Belimbing biasanya ditemukan pada kedalaman sekitar 1 meter dan khusus berada
pada pantai pasir putih. Sehingga hal demikian menjadikan penangkaran Penyu
Belimbing lebih sulit jika dibandingkan dengan penyu lainnya, meskipun pada
awal-awal tahun penangkaran telur Penyu Belimbing lebih banyak ditemukan. Suatu
situasi yang harus dipikirkan dan dicari solusinya. Dengan kenyataan demikian,
dapat diduga bahwa keberadaan Penyu Belimbing mungkin semakin berkurang seiring
berjalannya waktu.
Pada usia sekitar 20 tahun, penyu mulai bertelur dan terus berlangsung
sampai akhir hayatnya yang bisa sampai ratusan tahun. Dalam satu kali musim,
Penyu Abu-abu, Sisik, dan Hijau bertelur dalam 3 tahap. Pada tahap pertama
biasanya menghasilkan telur 130 – 160, pada tahap kedua 80 – 90 telur, dan pada tahap ketiga
lebih sedikit lagi yaitu sekitar 50 telur. Berbeda dengan ketiga jenis penyu
tersebut, penyu jenis Belimbing bertelur 7 tahap dalam satu musim, namun jumlah
dari telurnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan Penyu Abu-abu, Sisik, dan
Hijau. Hal unik lainnya dari penyu adalah ketika penyu bertelur di suatu
pantai, maka suatu saat nanti anak-anak dari penyu tersebut akan kembali ke
pantai tersebut untuk bertelur di pantai tempat mereka dilahirkan.
Setelah petugas menemukan telur-telur penyu, selanjutnya telur penyu
disimpan pada sebuah wadah yang ditutupi dengan pasir pantai dengan pengaturan
suhu 29 – 31oC untuk mencapai titik optimal dalam penetasan telur penyu.
Namun pengaturan suhu tersebut masih dirasa kurang optimal karena belum
sepenuhnya menggunakan teknologi untuk mengatur dan menstabilkan suhu yang
diperlukan. Sehingga hal demikian menjadi salah satu kendala dalam penetasan
telur, yang normalnya menetas dalam waktu 40 hari, dapat melebihi dari jangka
waktu tersebut. Karena kendala suhu dan pergantian pasir yang dilakukan satu
kali selama satu musim, untuk tahun 2014 hanya 82,7% telur-telur penyu dapat
menetas dengan sempurna. 26,3% lainnya tidak berhasil keluar dari cangkang
telurnya untuk melihat dunia luar dan hidup dengan saudara-saudaranya.
Tukik-tukik yang telah menetas selanjutnya dipindahkan ke dalam sebuah
kolam berukuran 2x1 meter dengan pergantian air laut dilakukan satu kali dalam
sehari selama 3 – 4 bulan sampai para tukik tersebut siap untuk dilepaskan ke lautan lepas. daging
ikan yang telah dicincang halus diberikan sebagai pakan dengan takaran
seperempat dari berat badannya setiap pagi. Dalam kurun waktu 3 bulan,
tukik-tukik tersebut bertambah panjang tubuhnya sepanjang 3 cm. Karena dalam
waktu 1 bulan, biasanya tukik bertambah panjang 1 cm.
Setiap tukik di penangkaran ini
ditandai dengan memberikan huruf ID (Indonesia) di setiap lengannya dan
kemudian dilepas untuk siap bebas, mencari makanan sendiri, dan menjaga dirinya
sendiri dari predator-predator yang mungkin lebih ganas di alam lepas. Selamat
berjuang dalam kehidupan nyata tukik-tukik pejuang, lari dan berlindunglah jika
ada mereka yang ingin menangkap dan memangsamu, jangan biarkan hidupmu hilang
di cengkramannya. Karena disini, di pantai ini, kami menunggumu kembali. Untuk
memberikan kehidupan baru bagi keturunanmu, untuk ekosistem ini, dan juga untuk
anak cucu kami agar dapat melihat dan mengenal keindahan akan keluguan dan
kecerdikanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar