Minggu, 27 September 2015

Alas Purwo, Surga Bumi di Ujung Timur Pulau Jawa (Edisi: Penangkaran Penyu, Pantai Ngagelan)

Kemampuan ingatan yang dianugerahkan oleh-Nya, lebih dari cukup untuk mengingat dan mengenang setiap goresan cerita dalam lembaran kehidupan. Alat indra yang di anugerahkan-Nya pun tak ada yang dapat menandinginya. Namun, terkadang dengan berjalannya waktu ingatan itu lambat laun menghilang dan menyisakan kenangan yang paling terkenang, sedangkan hal kecil lainnya hilang bersama waktu. Teringat sebuah kutipan dalam sebuah buku biografi “yang terucap akan lenyap, yang tercatat akan teringat”. Semoga kenangan yang diciptakan kemarin, dengan adanya tulisan ini dapat selalu teringat akan setiap hal yang mengiringinya. Tidak begitu saja menguap. Untuk ilmu, untuk senyuman, untuk cerita, dan untuk kenangan yang semoga akan selalu teringat di hari esok nanti.
Bermula dari usulan seorang teman yang memberitahukan suatu tempat, Taman Nasional di pulau Jawa. Pulau yang terkenal dengan penduduknya yang sangat padat, menyebabkan banyak pusat kegiatan manusia. tidak hanya itu, pulau Jawa ini juga memiliki banyak gunung api yang menyebabkan tanah di pulau Jawa ini sangat subur, dan selanjutnya berdampak akan terbentuknya berbagai bentang alam yang dapat memanjakan dan memuaskan setiap orang yang mengunjunginya. Kami yang tinggal di Kota Bandung, yang sejatinya sebuah kota yang diciptakan Tuhan ketika Dia tersenyum, berada di bagian barat pulau Jawa dengan segala hal yang sangat luar biasa, baik itu bentang alam, kuliner, hingga iklim yang begitu memanjakan dan membuat betah setiap orang yang tinggal maupun berkunjung ke kota ini. Haaah kita tinggalkan dulu cerita Bandung yang begitu menyenangkan.
Kembali pada cerita awal, sebuah tempat yang menjadi usulan untuk dikaji pada KKL Tahap 2 ini dapat dikatakan tidak mempunyai begitu banyak perbedaan jika dilihat dari unsur-unsur fisiknya dengan berbagai daerah di pulau Jawa. Mungkin begitulah persepsi awal dari sebagian kami. Namun di sisi lain, entah mengapa tempat tersebut terasa sangat istimewa. Berada di ujung timur pulau Jawa, sepertinya salah satu hal yang membuat kami merasakan keistimewaan tersebut. Dengan banyak perdebatan yang mengiringinya, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur akhirnya menjadi sebuah keputusan untuk dapat mengeksplorasinya pada Kuliah Kerja Lapangan Tahap 2 ini.
Hal pertama ketika mencari informasi mengenai Taman Nasional Alas Purwo adalah misteri dan mitos yang sangat begitu kental, sehingga hal demikian menimbulkan sedikit banyaknya keraguan. Namun, pada akhirnya rasa penasaran akan ilmu dan keindahan alam yang ada di dalamnya mengalahkan perasaan takut yang hadir. Di sisi lain, Taman Nasional Alas Purwo ini memiliki banyak objek kajian yang sejalan dengan tujuan dalam KKL Tahap 2 ini, dimana pada KKL Tahap 2 ini diwajibkan untuk dapat mengkomparasi berbagai fenomena geosfer. Dan pada kesempatan ini, kami memilih untuk mengkomparasi jenis ekosistem. Dan di Taman Nasional Alas Purwo ini, setidaknya ada 4 jenis ekosistem diantaranya ekosistem pantai, ekosistem sabana, ekosistem Hutan hujan tropis, dan ekosistem hutan mangrove. Dengan menggunakan bis, jarak sekitar 971 Km dari Bandung ke Taman Nasionanl Alas Purwo, Banyuwangi Selatan memakan waktu lebih dari 30 jam perjalanan dengan menyusuri jalur pantai selatan.
objek yang dikaji sangatlah beragam. Namun diantara banyak objek tersebut, salah satu hal yang menarik di Taman Nasional Alas Purwo ini adalah penangkaran penyu di pantai Ngagelan. Berjarak sekitar 7 km dari lokasi penginapan, pantai Ngagelan yang dijadikan sebagai tempat penangkaran penyu ini ditempuh dengan menggunakan mobil jeep, kendaraan lokal setempat dengan waktu kurang lebih 30 menit. Kondisi jalan yang ditempuh merupakan jalanan tanah yang sudah terbiasa dilewati untuk kendaraan. Sisi kanan kiri dari jalan tersebut ditumbuhi dengan hutan heterogen yang sangat rapat dan masih sangat alami, sehingga selama perjalanan tidak jarang dapat ditemukan berbagai jenis fauna yang ada di hutan tersebut.
Bermula pada tahun 1986, kesadaran akan pentingnya regenerasi dan kelestarian terhadap penyu mulai timbul, yang pada akhirnya dibuatlah sebuah penangkaran penyu di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. penangkaran penyu di pantai Ngagelan ini bersifat semi alami. Terdapat 4 jenis penyu dari total 6 jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Lekang / Abu-abu (Lepidochelys Olivaceae), Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata), Penyu Belimbing (Dermochelys Coreacea), dan Penyu Hijau (Chelonia Mydas).
Ketika tiba musim penyu bertelur, yaitu pada bulan Maret April dan berpuncak pada bulan Juni Juli, petugas yang berjumlah 6 orang ( 4 PNS dan 2 pekerja dari masyarakat) menyusuri pantai sepanjang 18 km setiap malam untuk mencari telur-telur penyu, termasuk di dalamnya Pantai Pancur, Pantai Triangulasi, Pantai Parang Ireng dan tentu saja Pantai Ngagelan sebagai pusat dari penangkaran penyu. Para petugas mengamankan dan melindungi keberlangsungan hidup penyu dari biawak sebagai predotor utama dan hewan lainnya. Selain dari predator hewan, tidak sedikit masyarakat sekitar yang masih kurang peduli terhadap kelestarian penyu, mengambil telur-telur penyu untuk diperjualbelikan sebagai tambahan untuk kebutuhan ekonomi mereka.
Dengan bantuan senter dan tongkat, para petugas berjalan menyusuri pantai mencari jejak-jejak penyu dan gundukan pasir. Penyu-penyu tersebut bertelur di pasir yang tidak terkena oleh gelombang air laut. Suatu hal yang unik dari induk tukik adalah dengan membuat penyamaran pada lubang tempat telur penyu berada. Gundukan-gundukan pasir yang disangka sebagai tempat telur penyu ternyata hanyalah sebagai tipuan semata, tempat sebenarnya dari telur penyu berada tidak jauh dari gundukan pasir. Hal tersebut mungkin dijadikan sebagai perlindungan seorang induk untuk menjaga keturunannya dari predator. Tongkat yang dibawa oleh para petugas kemudian dijadikan sebagai alat penusuk pasir, biasanya pasir yang ada telur penyu lebih empuk jika dibandingkan dengan pasir yang tidak ada telur penyu, namun dengan resiko 3 4 telur pecah akibat dari tongkat yang ditancapkan tersebut. Pada kedalaman sekitar 60 cm, telur-telur dari Penyu Sisik, Hijau, dan Abu-abu sudah dapat ditemukan. Sedangkan untuk telur Penyu Belimbing biasanya ditemukan pada kedalaman sekitar 1 meter dan khusus berada pada pantai pasir putih. Sehingga hal demikian menjadikan penangkaran Penyu Belimbing lebih sulit jika dibandingkan dengan penyu lainnya, meskipun pada awal-awal tahun penangkaran telur Penyu Belimbing lebih banyak ditemukan. Suatu situasi yang harus dipikirkan dan dicari solusinya. Dengan kenyataan demikian, dapat diduga bahwa keberadaan Penyu Belimbing mungkin semakin berkurang seiring berjalannya waktu.
Pada usia sekitar 20 tahun, penyu mulai bertelur dan terus berlangsung sampai akhir hayatnya yang bisa sampai ratusan tahun. Dalam satu kali musim, Penyu Abu-abu, Sisik, dan Hijau bertelur dalam 3 tahap. Pada tahap pertama biasanya menghasilkan telur 130 160, pada tahap kedua 80 90 telur, dan pada tahap ketiga lebih sedikit lagi yaitu sekitar 50 telur. Berbeda dengan ketiga jenis penyu tersebut, penyu jenis Belimbing bertelur 7 tahap dalam satu musim, namun jumlah dari telurnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan Penyu Abu-abu, Sisik, dan Hijau. Hal unik lainnya dari penyu adalah ketika penyu bertelur di suatu pantai, maka suatu saat nanti anak-anak dari penyu tersebut akan kembali ke pantai tersebut untuk bertelur di pantai tempat mereka dilahirkan.
Setelah petugas menemukan telur-telur penyu, selanjutnya telur penyu disimpan pada sebuah wadah yang ditutupi dengan pasir pantai dengan pengaturan suhu 29 31oC untuk mencapai titik optimal dalam penetasan telur penyu. Namun pengaturan suhu tersebut masih dirasa kurang optimal karena belum sepenuhnya menggunakan teknologi untuk mengatur dan menstabilkan suhu yang diperlukan. Sehingga hal demikian menjadi salah satu kendala dalam penetasan telur, yang normalnya menetas dalam waktu 40 hari, dapat melebihi dari jangka waktu tersebut. Karena kendala suhu dan pergantian pasir yang dilakukan satu kali selama satu musim, untuk tahun 2014 hanya 82,7% telur-telur penyu dapat menetas dengan sempurna. 26,3% lainnya tidak berhasil keluar dari cangkang telurnya untuk melihat dunia luar dan hidup dengan saudara-saudaranya.
Tukik-tukik yang telah menetas selanjutnya dipindahkan ke dalam sebuah kolam berukuran 2x1 meter dengan pergantian air laut dilakukan satu kali dalam sehari selama 3 4 bulan sampai para tukik tersebut siap untuk dilepaskan ke lautan lepas. daging ikan yang telah dicincang halus diberikan sebagai pakan dengan takaran seperempat dari berat badannya setiap pagi. Dalam kurun waktu 3 bulan, tukik-tukik tersebut bertambah panjang tubuhnya sepanjang 3 cm. Karena dalam waktu 1 bulan, biasanya tukik bertambah panjang 1 cm.

Setiap tukik di penangkaran ini ditandai dengan memberikan huruf ID (Indonesia) di setiap lengannya dan kemudian dilepas untuk siap bebas, mencari makanan sendiri, dan menjaga dirinya sendiri dari predator-predator yang mungkin lebih ganas di alam lepas. Selamat berjuang dalam kehidupan nyata tukik-tukik pejuang, lari dan berlindunglah jika ada mereka yang ingin menangkap dan memangsamu, jangan biarkan hidupmu hilang di cengkramannya. Karena disini, di pantai ini, kami menunggumu kembali. Untuk memberikan kehidupan baru bagi keturunanmu, untuk ekosistem ini, dan juga untuk anak cucu kami agar dapat melihat dan mengenal keindahan akan keluguan dan kecerdikanmu. 

Mitigasi Patahan Lembang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terletak pada zona tumbukan tiga lempeng, lempeng pasifik, eurasia, dan Indo-Australia. Hal tersebut menganugerahkan Indonesia dengan jajaran gunungapi di sepanjang pulau di Indonesia, sehingga geodiversitasnya dan tingkat kesuburannya pun semakin tinggi. Namun di sisi lain, tingkat kebencanaan yang kemungkinan terjadi di Indonesia akan tinggi pula. Selain bencana gunungapi yang mengancam bumi Indonesia, gempa bumi dengan berbagai tingkatan skala dimungkinkan akan terjadi di wilayah Indonesia.
Bandung, berada di daerah dataran tinggi di bagian barat pulau Jawa tidak terlepas dari ancaman bencana gempa bumi dan gunung api. Salah satu patahan yang terdapat di Bandung adalah patahan lembang, membentang sepanjang 24 km di utara Bandung menjadikan wilayah lembang khususnya, dan Bandung pada umumnya memiliki keterancaman terhadap gempa bumi yang relatif tinggi. Di sisi lain, tanah Bandung dengan bekas endapan danau purba Bandung memiliki tingkat perambatan yang tinggi pula, sehingga jika terjadi gempa bumi, maka perambatan yang terjadi di bawah permukaan tanah Bandung akan semakin cepat dan dengan cepat pula menghancurkan bangunan-bangunan di daerah Bandung. Membelok ke arah barat daya, patahan lembang menyambung dengan patahan Cimandiri. Hal tersebut mengakibatkan, jika terjadi guncangan gempa di wilayah Saguling maka daerah Bandung pun akan terkena imbasnya.




Gunung batu, sebuah bukit yang terbentuk dari leleran lava dari gunungapi purba merupakan salah satu tempat yang sangat baik untuk dijadikan sebagai tempat geowisata dan kegiatan pembelajaran lapangan. Jika kita berada di gunung batu ini, sesungguhnya kita berada pada jalur patahan lembang. Dari puncak tempat ini pula, melihat ke arah utara, arah Gunung Tangkubanparahu dapat terlihat dengan jelas patahan lembang, garis lurus dari barat ke timur. Patahan Lembang ini masih aktif bergeser, dengan penurunan patahan sebesar 6 cm/tahun atau 0,16 mm/hari. Pemantauan pergerakan sesar tersebut di catat oleh seismograf yang dibangun oleh Badan Geologi di puncak dari gunung batu tersebut.


Melihat angka pergerakan patahan yang hanya 0,16 mm/hari. Sudah pasti penduduk setempat tidak akan merasakan pergerakan patahan tersebut. Namun jika suatu waktu terakumulasi dan menyebabkan gempa bumi, bukan hanya daerah Lembang yang akan terkena dampak dari gempa tersebut, namun daerah Bandung secara keseluruhan pun akan terasa dampaknya juga. Seperti pada gempa yang terjadi sekitar dua tahun yang lalu, gempa muril, gempa dengan kekuatan 3,2 SR mengguncang daerah lembang, Kampung Muril menjadi kampung yang sangat merasakan akibat dari gempa tersebut. Karena gempa 3,2 SR tersebut, sebuah rumah luluh lantah rata dengan tanah. Bayangkan, jika gempa dengan skala 6,7 (sebagai kekauatan maksimal gempa di patahan lembang) mengguncang tanah sangkuriang. Bukan hanya lembang sebagai pusat wilayah patahannya, namun Kota Bandung dengan bangunan-bangunan pencakar langitnya akan terkena dampak dari guncangan gempa tersebut.
Oleh karena itu, sangat diperlukan mitigasi untuk meminimalisir dari dampak gempa yang terjadi. Sosialisasi terhadap warga di daerah patahan lembang khususnya, dan Bandung pada umumnya sangat diperlukan, demi kenyamanan dan keamanan bersama. Sosialisasi mitigasi juga sangat diperlukan terhadap pelajar-pelajar di setiap sekolah di wilayah Bandung, selain itu kontruksi bangunan rumah ataupun bangunan lainnya seharusnya dipersiapkan untuk kontruksi tahan gempa. Hal sederhananya rangka dasar rumah seharusnya dibuat menyilang, sehingga ketika terjadi gempa, rangka silang tersebut akan menahan guncangan gempaa yang terjadi. Hal-hal demikian akan sangat membantu. Jika suatu saat terjadi gempa, maka semua pihak, baik itu pemerintah, penduduk, maupun pemilik-pemilik dunia usaha di wilayah Bandung sudah siap dan siaga jika terjadi gempa. Sehingga dampak dari gempa tersebut dapat diminimalkan.